Kutulis cerita ini dalam dinginnya kamar hotel di Jenewa, sementara di luar salju turun dengan sunyi. Tanganku gemetar memegang pulpen. Baru saja, dari layar kaca yang menyala di sudut ruangan, kudengar mereka menyebut namanya. "S.M. Kartosuwiryo," kata suara presenter itu dengan datar, "dieksekusi pagi tadi."
Aku mematikan televisi itu. Tiba-tiba ruangan menjadi sangat hening, hanya desau pendingin udara yang terdengar. Dalam kesunyian itu, wajahnya yang terakhir kulihat menghantui diriku - bukan wajah tua yang terpampang di buku-buku pelajaran, melainkan wajah pemuda berapi-api itu, dengan matanya yang tajam dan keyakinan yang membara.
"Kita harus berhenti memandang satu sama lain dengan kecurigaan, Natsir!"
Suaranya masih jelas terngiang di telingaku. Waktu itu, tahun 1928, dalam sebuah rapat Jong Islamieten Bond, Kartosuwiryo berdiri di depan kami. Tangannya mengepal, matanya berbinar-binar.
"Lihatlah bagaimana Belanda tertawa melihat kita berpecah belah! Nasionalis sekuler di satu sisi, Islamis di sisi lain. Padahal kita semua menginginkan merdeka!"
Aku masih ingat betul bagaimana ia kemudian mendekatiku setelah rapat. Bau keringat dan kertas koran melekat pada tubuhnya yang kurus. "Kau mengerti, kan, Natsir?" bisiknya. "Mereka butuh kita, tapi mereka tidak mau mengakui bahwa agama adalah jiwa dari bangsa ini."
Waktu itu aku hanya mengangguk. Kartosuwiryo selalu memiliki cara tersendiri untuk menyampaikan pemikiran-pemikirannya yang radikal. Di koran Fadjar Asia, tulisannya bagai api yang membakar. Dalam rapat-rapat, pidatonya menggugah. Tapi selalu ada kegelisahan dalam dirinya, sebuah ketidaksabaran yang suatu hari nanti akan membawanya pada jalan yang berbeda.
Kami sering berdebat hingga larut malam. Tentang apakah Indonesia yang kami impikan bisa diwujudkan dengan jalan damai, ataukah perlu revolusi yang lebih dahsyat. Kartosuwiryo selalu di pihak yang percaya bahwa kekuatanlah yang akan berbicara paling akhir.
"Kau terlalu lunak, Natsir!" suaranya masih terngiang. "Mereka akan menertawakan idealismu. Lihatlah, Piagam Jakarta saja mereka hapus dengan mudahnya. Janji? Janji hanya untuk dilanggar!"
Andai saja waktu itu aku bisa meyakinkannya dengan lebih baik. Andai saja aku bukan hanya menjawab dengan teori-teori politik dan keyakinan pada proses demokrasi. Tapi waktu tidak bisa diputar balik.
Kudengar lagi suara presenter televisi tadi: "Dieksekusi pagi tadi." Kalimat sederhana yang mengubur segala kenangan, segala debat, segala mimpi yang pernah kami perjuangkan bersama.
Sekarang yang tersisa hanyalah diriku di pengasingan, dan kenangan tentang seorang pemuda brilian yang memilih jalan yang berbeda - jalan yang membawanya pada ujung senapan regu tembak.
Salju di luar jendela masih turun, menyelimuti segala kenangan tentangnya dengan diam yang menyakitkan.
Bab 2: Bayang-Bayang di Stasiun Tua
Kenangan itu datang bergerak seperti kereta api tua yang lengang. Setelah berita eksekusi itu, pikiranku melayang ke sebuah sore di tahun 1939, di stasiun Bandung yang sepi. Itulah pertemuan terakhir kami sebagai sahabat, sebelum semuanya berubah menjadi debu dan peluru.
Uap panas menguar dari gerbong kereta ketika aku melihatnya berdiri di peron, memegang tas kulit yang sudah usang. Wajahnya tampak lebih tirus dari biasanya, tapi matanya masih memancarkan api yang sama.
"Meninggalkan kota ini, Natsir," katanya tanpa basa-basi. "Jakarta sudah terlalu sempit untuk bernapas."
"Kau lari?" tanyaku saat itu, mencoba menangkap pandangannya yang terus mengawasi gerbong-gerbong kereta.
"Bukan lari. Aku sedang mencari medan perjuangan yang baru." Ia akhirnya menatapku. "Mereka di Volksraad hanya bermain kata-kata sementara rakyat terus menderita. Kau masih percaya bisa mengubah sesuatu dari dalam sistem?"
"Perlahan, Kartosuwiryo. Segalanya butuh proses."
"Proses!" hardiknya, dan untuk pertama kalinya kulihat retakan dalam persahabatan kami. "Kita sudah terlalu lama bersabar. Lihatlah di sekelilingmu! Rakyat kecil butuh makan hari ini, bukan janji kemakmuran di masa depan."
Angin sore membawa asap mesin kereta, menciptakan kabut tipis di antara kami. Aku masih ingat bagaimana bau batu bara itu tercampur dengan aroma kopi dari warung dekat stasiun.
"Kau akan melakukan apa di sana?" tanyaku akhirnya.
"Dakwah dan perjuangan, Natsir. Seperti biasa. Tapi kali ini dengan cara yang lebih... langsung." Matanya berbinar dengan keyakinan yang mulai membuatku khawatir. "Aku akan mengorganisir rakyat, menyadarkan mereka bahwa kekuatan ada di tangan kita sendiri."
"Jangan gegabah, kawan. Kita masih punya waktu..."
"Waktu?" potongnya kasar. "Waktu adalah kemewahan yang tidak kita miliki. Belanda akan terus menghisap darah kita, sementara para intelektual seperti kita terus berdebat di ruang ber-AC."
Peluit kereta berbunyi, menandakan waktu keberangkatan. Ia memungut tasnya. Untuk sesaat, wajahnya melunak. "Aku tahu kau tidak setuju dengan caraku, Natsir. Tapi percayalah, kita masih memperjuangkan hal yang sama."
"Apakah kita?" bisikku, tapi kata-kata itu tenggelam dalam deru mesin kereta.
Ia naik ke gerbong, dan melalui jendela, aku melihatnya melambaikan tangan untuk terakhir kalinya. Tidak sebagai Kartosuwiryo si pemberontak, tapi sebagai Kartosuwiryo teman debatku, sahabat seperjuangan yang dulu bersama-sama memimpikan Indonesia merdeka.
Sekarang, di kamar hotel yang dingin ini, aku masih bisa melihat bayangannya di stasiun tua itu. Seorang pemuda dengan tas usang dan mimpi yang terlalu besar untuk diwadahi dalam gerbong kereta mana pun.
Andai saja waktu itu aku menahannya. Andai saja aku bisa meyakinkannya untuk tetap bertahan di jalur konstitusional. Tapi sejarah ditulis dengan tinta yang tidak bisa dihapus, dan pertemuan di stasiun itu menjadi pembuka babak baru dalam hidupnya - babak yang akan berakhir di ujung senapan regu tembak.
Bab 3: Surat dari Gunung
Tiga tahun setelah pertemuan di stasiun itu, sebuah surat tiba di kantorku di Jakarta. Amplopnya sederhana, tanpa nama pengirim, tapi segera kukenali tulisan tangannya yang khas - runcing dan tergesa, seolah tak sabar mengejar pikiran yang melaju.
"Saudaraku Natsir,
Dari ketinggian gunung ini, kulihat kabut menyelimuti lembah-lembah. Di sini, udara masih murni, tidak seperti di kota dimana kata-kata sudah tercemar kepentingan. Aku menulis ini dengan pelita minyak, sementara di luar, para santri dan petani berjaga dengan bambu runcing."
Aku masih menyimpan surat itu, tersembunyi rapi di antara dokumen-dokumen resmi. Kertasnya sudah menguning, tintanya memudar, tapi setiap katanya terpatri dalam ingatanku.
"Mereka bilang aku sudah gila, Natsir. Tapi lihatlah - di sini, di tengah rakyat kecil, aku menemukan Indonesia yang sesungguhnya. Mereka tidak butuh retorika, tapi kepastian. Tidak butuh janji, tapi bukti."
Tangannya gemetar membacanya kembali. Waktu itu, tahun 1942, Jepang baru saja menduduki kita. Dalam suratnya, ia menulis:
"Penjajah berganti wajah, tapi penjajahan tetaplah sama. Kau di kota mungkin harus berkompromi dengan mereka, tapi di sini kita bebas berkata tidak. Aku sedang membangun sesuatu, Natsir. Sesuatu yang murni, yang tidak terkontaminasi."
Aku membalas suratnya, memperingatkan tentang bahaya isolasi. Menasehatinya untuk tetap bergabung dalam perjuangan nasional yang lebih luas. Tapi balasannya datang dengan kata-kata yang lebih pedas:
"Kau masih percaya pada persatuan? Persatuan macam apa yang menghapus Piagam Jakarta? Persatuan macam apa yang mengorbankan prinsip demi sekularisme? Di sini kita membangun persatuan sejati - persatuan dalam iman dan perjuangan."
Surat-surat berikutnya semakin jarang, nadanya semakin dogmatis. Dari seorang intelektual yang kukenal, ia berubah menjadi seorang ideolog yang kaku. Yang terakhir kuterima di awal 1948, tak lama sebelum Perjanjian Renville.
"Natsir, ini pilihan terakhirku. Mereka telah meninggalkan Jawa Barat, meninggalkan rakyatnya. Jika Republik tidak mampu melindungi rakyat, maka kita akan melindungi diri sendiri. Jangan coba menghalangi. Doakan saja, atau lebih baik - bergabunglah."
Aku tidak pernah membalas surat terakhir itu. Apa yang bisa kutulis? Sebagai Menteri Penerangan, aku harus mendukung kebijakan pemerintah. Sebagai sahabat, hatiku tercabik.
Sekarang, di kamar hotel yang sunyi ini, kukeluarkan lagi surat-surat tua itu. Suaranya seolah terdengar dari tiap goresan tinta - mulai dari yang penuh kerinduan, berubah menjadi kritik, dan akhirnya berubah menjadi ultimatum.
Andai saja waktu itu aku mengambil cuti, pergi menemuinya di gunung. Mungkin, hanya mungkin, dengan duduk berhadapan langsung, kita masih bisa menemukan titik temu. Tapi sejarah tidak mengenal "andai-andai", dan surat-surat itu kini hanya menjadi monumen bagi sebuah persahabatan yang runtuh perlahan-lahan.
Bab 4: Suara dari Radio
Tahun 1949. Aku duduk di ruang kerjaku di Kementerian Penerangan, mendengar suaranya yang keras dan bernada keras itu menyebar dari radio. Suara yang dulu biasa berdebat tentang puisi dan politik di warung kopi, kini menyatakan perang terhadap Republik yang kami dirikan bersama.
"Dengan ini, kami nyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia!"
Suaranya bergema di ruangan itu, penuh keyakinan yang tak tergoyahkan. Tanganku gemetar memegang secangkir kopi yang mulai dingin. Rekan-rekan menteri lain memandangku dengan pandangan aneh—mereka tahu hubunganku dengannya.
"Negara Republik Indonesia yang ada sekarang ini telah bubar..."
Setiap katanya seperti pukulan palu godam. Ini bukan lagi Kartosuwiryo yang kukenal—ini adalah Imam Negara Islam Indonesia. Ini adalah pemberontak yang harus ditumpas.
"Pak Natsir?" seorang staf membuyarkan lamunanku. "Apa kita harus mengeluarkan sanggahan?"
Aku mengangguk pelan, tapi hatiku bagai dirobek-robak. Bagaimana mungkin kami sampai di titik ini? Pemuda brilian yang dulu berdiri di Kongres Pemuda, yang pidatonya tentang "Nasionalisme dan Islam" pernah memukau kami semua, kini menyatakan perang terhadap negara yang kami perjuangkan bersama.
Malam itu, di rumah, aku tidak bisa tidur. Istriku menatapku khawatir. "Kau kenal baik dia, ya?"
"Terlalu baik," jawabku singkat.
Aku ingat betul, di masa-masa awal revolusi, kami masih bisa berdebat dengan sehat. Tapi setelah penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, sesuatu dalam dirinya patah. "Mereka mengkhianati kita, Natsir!" katanya suatu kali, matanya berapi-api. "Ini bukti bahwa jalan damai tidak akan pernah membawa kita pada cita-cita Islam!"
Aku mencoba meyakinkannya bahwa perjuangan melalui konstitusi butuh waktu. Tapi dia sudah tidak mau mendengar. "Waktumu untuk berdebat sudah habis, Natsir. Sekarang waktunya bertindak!"
Dan kini, tindakannya itu telah membawanya pada proklamasi yang menggetarkan itu. Dari jendela, kulihat Jakarta yang gelap—kota yang dulu kami impikan bersama, yang kini terancam perang saudara.
Sebagai Menteri Penerangan, aku harus mengecamnya. Tapi sebagai sahabat, aku tahu betul bahwa ini semua berawal dari kekecewaan yang dalam—kekecewaan yang sebenarnya juga kurasakan, meski kupilih untuk menghadapinya dengan cara berbeda.
Esok harinya, suaraku terdengar di radio nasional, mengecam gerakan DI/TII dan menyerukan persatuan bangsa. Tapi saat mikrofon dimatikan, aku terduduk lemas, membayangkan wajahnya di seberang sana, mendengar kata-kataku dan mungkin tersenyum getir.
Dua sahabat, satu mimpi yang sama, tapi terpisah oleh frekuensi radio yang berbeda.
Bab 5: Dua Tahanan
Tahun 1962. Jeruji besi ini memisahkanku dari dunia, tapi tidak dari kenangan. Dari balik tembok penjara Salemba ini, kabar tentang eksekusinya sampai kepadaku seperti angin malam yang menggigit. Ironi yang paling pahit: aku, yang setia pada Republik, mendekam sebagai tahanan politik. Dia, yang memberontak, telah ditembak mati sebagai musuh negara.
Mereka memberitahuku dengan wajah-wajah tanpa ekspresi. "Kartosuwiryo sudah dieksekusi." Tiga kata itu menggantung di sel yang pengap ini, menambah beban yang sudah menindih pundakku.
Aku ingat janji kami di masa muda, ketika semangat masih membara dan idealisme masih murni. "Kita akan membangun Indonesia yang merdeka dan bermartabat," katanya suatu sore, matanya berbinar-binar. Kini, satu dari kami mati di ujung senapan, yang lain hidup dalam kurungan.
Penjaga penjara itu mungkin mengira aku akan bersyukur—musuh negara telah tumbang. Tapi yang mereka lihat hanyalah air mata tua yang mengalir tanpa suara. Ini bukan air mata untuk seorang pemberontak, melainkan untuk seorang pemuda brilian yang tersesat dalam labirin idealismenya sendiri. Untuk sahabat yang jalan hidupnya berbelok terlalu tajam hingga kami tak lagi saling mengenal.
Dalam kesunyian sel ini, bayangannya menghampiriku. Bukan sebagai Imam DI/TII yang ditakuti, melainkan sebagai pemuda kurus dengan koper tua, berdiri di stasiun Bandung, memandangku untuk terakhir kalinya. "Kita masih memperjuangkan hal yang sama," katanya waktu itu. Apakah benar?
Malam ini, di balik jeruji yang sama-sama mengurung kami—dia dalam kematian, aku dalam kehidupan—aku akhirnya mengerti. Kami memang memperjuangkan Indonesia yang sama, hanya dengan peta yang berbeda. Dia memilih jalan lurus dan curam, aku memilih jalan berliku yang panjang. Dan kedua jalan itu terbukti sama-sama berbahaya.
Dengan gemetar, kuambil selembar kertas dari bawah kasur yang tipis. Aku mulai menulis, bukan sebagai Mohammad Natsir sang negarawan, melainkan sebagai Natsir sang sahabat. Surat untuk Kartosuwiryo yang tak akan pernah sampai, tentang mimpi-mimpi kami yang tersisa dan tentang Indonesia yang tak pernah jadi milik kami sepenuhnya.
Bab 6: Surat yang Tak Terkirim
Kubuka kertas yang sudah kusut itu di atas pangkuanku. Cahaya bulan menyelinap melalui jeruji, cukup terang untuk menulis. Ini mungkin surat terakhir yang kutulis untuknya, meski aku tahu tak akan pernah sampai.
Kepada S.M. Kartosuwiryo,
Di Tempat yang Tenang,
Saudaraku,
Malam ini, di sel yang sunyi ini, kabar tentang kepergianmu akhirnya kuterima dengan resmi. Mereka menyebutmu mati sebagai pemberontak, tapi aku ingat saat kau hidup sebagai pejuang.
Aku masih menyimpan dengan rapi kenangan akan siang itu, tahun 1928, ketika kau berdiri di depan Kongres Pemuda. Suaramu lantang menyatukan nasionalisme dan Islam dalam satu nafas. "Kita bisa bersatu dalam perbedaan," katamu waktu itu. Kalimat itu kini bergema ironis di ruang hampa ini.
Pernahkah kau ingat, setelah rapat Jong Islamieten Bond, kita sering duduk di warung kopi dekat Pasar Baru? Kau selalu memesan teh manis, dan kita berdebat tentang masa depan Indonesia sampai pemilik warung mengusir kita pulang. Wajahmu yang bersemangat itulah yang ingin kuingat, bukan wajah terakhirmu yang mereka gambarkan di koran.
Saat kau memutuskan pergi dari Jakarta, ada firasat dalam hatiku bahwa jalan kita mulai berpisah. Tapi tak pernah kubayangkan jurang itu akan selebar ini—kau di ujung senapan, aku di balik jeruji.
Mereka bilang kau mati karena keyakinanmu. Aku pun dipenjara karena keyakinanku. Bedanya, kau memilih melawan dengan senjata, aku dengan kata-kata. Dan lihatlah akhir kita—sama-sama dikhianati oleh negeri yang ingin kita bela.
Tidakkah kau rasa ironis, Saudaraku? Dulu kita berdua melawan penjajah asing, kini kita justru dihukum oleh bangsa sendiri. Mungkin inilah harga yang harus dibayar untuk mimpi yang terlalu besar.
Aku tak tahu apakah perjuanganmu kelak akan dikenang atau dikutuk. Tapi izinkan aku mengenangmu sebagai pemuda brilian dengan api dalam mata, yang terlalu mencintai Indonesia dengan caranya sendiri.
Semoga kau kini menemukan kedamaian yang tak pernah kau dapatkan di dunia ini.
Sahabatmu,
Natsir
Sel Salemba, 1962
Kusimpan kertas itu di balik bajuku, tepat di atas hati. Surat ini akan kubawa hingga akhir hayatku, sebagai pengingat bahwa dalam sejarah yang hitam-putih, selalu ada area abu-abu tempat persahabatan dan perbedaan bisa hidup berdampingan.
Dari kejauhan, kudengar adzan Subuh berkumandang. Suara itu menyadarkanku bahwa pagi telah tiba, dan aku harus menghadapi hari baru dalam penjara—sebuah kenyataan yang kini harus kuhadapi tanpa adanya bayangan sahabatku di seberang.