Sebuah ide kerap hadir bagai nyala api kecil di tengah kegelapan. Ia menawarkan secercah cahaya, meski sering dianggap remeh dan tidak berarti. Namun, sejarah membuktikan bahwa justru dari sinilah perubahan besar bermula. Karena sesungguhnya, ide adalah modal yang mahal. Maka, ketika sebuah gagasan muncul, jangan biarkan ia lenyap ditelan waktu. Tulislah, bicarakan, dan gaungkanlah. Sebab, kekuatan sebuah visi tidak terletak pada kesegeraan realisasinya, tetapi pada ketekunan untuk terus mempercayainya, bahkan ketika yang lain menganggapnya sebagai khayalan belaka.
Perjalanan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah cermin sempurna dari prinsip ini. Bayangkan, di tengah belenggu penjajahan yang nyata, sekelompok pemuda justru berani menyatakan sebuah mimpi yang tampak mustahil: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Mereka tidak hanya membicarakannya dalam ruang tertutup, tetapi dengan lantang mendeklarasikannya ke seluruh penjuru. Lagu "Indonesia Raya" yang berkumandang saat itu bukan sekadar melodi, melainkan teriakan keyakinan akan sebuah Indonesia merdeka.Namun, jalan menuju realisasi ide besar tidak pernah lapang. Selalu ada saja suara-suara yang meremehkan, mengolok-olok, dan berusaha mematahkan semangat. Para pemuda saat itu pasti menghadapi cercaan dari mereka yang berkata, "Ini hanya mimpi di siang bolong!" atau "Buang-buang waktu saja berharap pada sesuatu yang tak mungkin." Kritik dan hinaan itu semakin menjadi-jadi ketika tahun berganti tahun, tetapi kemerdekaan tak kunjung tiba. Setahun berlalu, sepuluh tahun berlalu, dan keadaan tampak tak berubah. Para pesimis pun semakin vokal, "Lihat kan? Ini semua hanya omong kosong! Lebih baik terima saja nasib sebagai bangsa terjajah."Tantangan terberat dari sebuah ide yang belum terwujud adalah bertahan di tengah gelombang keraguan yang tak henti, baik dari luar maupun dari dalam diri sendiri. Para pejuang kemerdekaan harus bergulat dengan bayangan kegagalan sambil terus mendengar ejekan bahwa perjuangan mereka sia-sia. Bahkan setelah Proklamasi 1945, ketika Belanda dan Inggris kembali dengan kekuatan militer, suara-suara sinis itu kembali menggema, "Kemerdekaan kalian cuma sementara! Bakal dijajah lagi!" Namun, api ide yang telah dinyalakan pada 1928 tidak pernah padam. Ia terus membara, disiram dengan darah dan air mata, hingga pengakuan kedaulatan di tahun 1949 akhirnya membungkam semua ejekan itu. Ide yang dulu dianggap utopis, setelah 21 tahun, menjadi nyata.Oleh sebab itu, warisan terpenting dari Sumpah Pemuda bukan hanya persatuan, melainkan juga pelajaran tentang ketabahan. Mereka mengajarkan kita untuk tidak goyah oleh pandangan sinis orang yang meremehkan. Setiap kali kita mencatat sebuah ide, kita sedang membangun fondasi. Setiap kali kita menyampaikannya, kita sedang menguji dan menguatkannya. Dan setiap kali kita menggaungkannya, kita sedang mengundang sekutu dan siap menghadapi penentang.Maka, jangan pernah membiarkan suara-suara negatif mematikan kreativitas dan keyakinan Anda. Biarkan mereka meragukan, biarkan mereka menghina. Tugas kita adalah terus menulis, terus berbicara, dan terus berjalan. Sebab, ide yang diperjuangkan dengan tekun dan kesabaran, pada waktunya, tidak hanya akan membuktikan kesalahannya para peremeh, tetapi juga mampu mengukir sejarah baru bagi dunia.

